sebuah variasi atas kitab Kidung Sudamala
Sejenak,
perempuan itu mencucurkan air mata
demi melihat wajahnya yang buruk.
Ia telah dikutuk.
Lalu ia bersila. Ia bertapa.
Sejenak lalu,
ialah Uma, kekasih Siwa, laki-laki yang
menguasai cermin Tuhan yang lain.
Uma, sang pemahat luka.
Kini semua selesai. Ia telah terusir dari kahyangan.
Ialah penguasa Setra Gandamayit,
penguasa kegelapan yang
sehitam dosa.
Takkan ada bisa yang menahanku, kecuali
cintaku. (Ia merapal lalu mengheningkan dirinya.)
Tapi tangan-tangannya
menebar was-was, mala,
ke segala penjuru. Pepohonan
menguning. Azab meresap.
Di singgasananya, laki-laki itu, Siwa, berkata:
“Sudikah diriku menerima perempuan yang tak setia?”
Di bawah kakinya,
disaksikannya amuk perempuan itu.
Tapi laki-laki itu seperti hendak berkata:
“Kenyataan takkan bisa disembunyikan amarah.”
Perempuan itu terus mengamuk, hingga
singgasana laki-laki itu seperti hendak runtuh. Tapi
ia masih berdiam, meski
sesungguhnya ia tak menikmati kutukannya.
Adakah yang pekat kembali suci?
Pada kesempatan kedua, barangkali
semuanya menjadi putih. Suci serupa melati.
Seperti Durga yang diruwat Sadewa.
“Tapi takkan ada kesempatan ketiga,” kata laki-laki itu
diringi isak sang Betari.
Adakah yang pekat kembali suci?
Kini gunungan telah runduk.
Ia terbebas dari kutuk,
serupa terlahir kembali.
Yang hina adalah waktu yang tak mengerti.
Seperti lakon yang terkisah,
setiap akhir adalah mula. Hingga
takkan ada lagi cela, dan rentang menghilang.
jogja, 6 april ‘05